Bisnis Tambang yang Tidak Sesuai Syariat: Ancaman Bagi Umat & Lingkungan
Industri tambang menjadi salah satu sektor penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Namun di balik gemerlapnya, banyak praktik bisnis tambang yang tidak sesuai syariat Islam. Hal ini tidak hanya berdampak buruk bagi lingkungan, tetapi juga memunculkan ketidakadilan sosial, perampasan hak rakyat, dan melanggengkan sistem ekonomi yang bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.
1. Pelanggaran Asas Kepemilikan
Dalam syariat Islam, sumber daya alam (SDA) seperti tambang merupakan milik umum (milkiyah ‘ammah) yang hak pengelolaannya seharusnya untuk kemaslahatan umat, bukan dikomersialisasikan oleh segelintir elit atau korporasi asing. Nabi ﷺ bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud)
Hari ini, justru banyak izin usaha pertambangan (IUP) dikeluarkan atas nama korporasi—baik nasional maupun multinasional—yang mengeksploitasi tambang untuk keuntungan pribadi, bukan kemaslahatan umat.
2. Sistem Kapitalistik & Riba
Banyak bisnis tambang berjalan dengan skema:
-
Pendanaan berbasis utang ribawi dari bank konvensional,
-
Saham tambang diperjualbelikan di bursa secara spekulatif.
Praktik ini jelas melibatkan:
-
Riba, yang diharamkan dalam Islam,
-
Gharar (ketidakpastian),
-
Ihtikar (penimbunan untuk memanipulasi harga).
Dengan demikian, dari hulu ke hilir bisnis tambang semacam ini bertentangan dengan prinsip muamalah yang halal dan thayyib.
3. Perusakan Lingkungan (Ifsad fi al-ardh)
Banyak praktik tambang—baik legal maupun ilegal—mengabaikan amanah menjaga bumi:
-
Penggundulan hutan,
-
Pencemaran air sungai,
-
Rusaknya ekosistem,
-
Krisis kesehatan masyarakat sekitar.
Allah ﷻ memperingatkan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum: 41)
Maka aktivitas bisnis tambang yang merusak lingkungan secara masif adalah bentuk ifsad fi al-ardh yang diharamkan.
4. Ketidakadilan Sosial
Alih-alih mensejahterakan rakyat, banyak tambang justru:
-
Mengusir masyarakat adat dari lahan warisan mereka,
-
Menciptakan ketimpangan ekonomi,
-
Menyebabkan konflik horizontal,
-
Memiskinkan daerah penghasil tambang itu sendiri.
Padahal syariat Islam memerintahkan:
“Barang siapa yang mengambil tanah seseorang tanpa hak, maka Allah akan membenamkannya ke dalam bumi pada hari kiamat.”
(HR. Bukhari)
5. Solusi dalam Perspektif Syariah
-
SDA harus dikelola sebagai milik umum di bawah pengawasan negara yang menerapkan syariat.
-
Hasilnya dipergunakan untuk:
-
Kesejahteraan rakyat,
-
Pembiayaan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur),
-
Pembangunan berkelanjutan tanpa merusak alam.
-
-
Dilarang bekerjasama dengan sistem ribawi atau menyerahkan pengelolaan kepada korporasi asing.
Dengan demikian, pengelolaan tambang sesuai syariat akan menghadirkan keadilan sosial, perlindungan lingkungan, serta keberkahan bagi seluruh umat.
Kesimpulan
Praktik bisnis tambang yang berjalan di bawah sistem kapitalisme sekuler saat ini sangat jauh dari ajaran syariat Islam. Mulai dari aspek kepemilikan, pendanaan, mekanisme pasar, hingga dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.
Sudah saatnya umat Islam menyerukan perubahan sistemik agar SDA dikelola sesuai prinsip syariah, bukan sekadar tambal-sulam regulasi. Karena hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, pengelolaan tambang dapat membawa rahmat bagi seluruh alam.
Artikel Sebelumnya : Mengenal BPJS Ketenagakerjaan